About Me

My photo
Asal: Kelecung City,Tegalmengkeb Square, Selemadeg Timur, Kab. Tabanan-Bali " Do the best and God will do the rest"

Thursday, February 7, 2008

E-BOOK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MENGATASI KETERBATASAN INFORMASI DI SEKOLAH

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi iformasi dan komunikasi (ICT ) dewasa ini tidak bisa kita pungkiri lagi. Perkembangan tersebut telah merasuk hampir kesemua nadi kehidupan dan merambah kesegala aspek kehidupan tak terkecuali dunia pendidikan. Dimana dalam era digital ini pemanfaatan media pembelajaran berbasis IT khususnya networking atau internet, sudah semakin dibutuhkan. Bahkan di sekolah-sekolah maju telah memanfaatkan internet secara efektif dan berkesinambungan.

Mereka semua telah terbiasa memakai internet sebagai pendukung pembelajaran mereka baik bagi guru pengajar maupun siswa. Hingga proses pembelajarannya pun dikemas dalam format digital yang begitu interaktif dan mutakhir dalam cyber space. Mulai dari profil sekolah, info pelajaran, materi pelajaran, ulangan harian /ulangan blok, referensi bahkan sampai nilai ulangan pun dipampang di web site sekolah mereka dan web site atau web blog guru pengajarnya untuk bisa diakses oleh siswa dimana pun dan dikapanpun secara real-time.

Siswa dituntut untuk mampu menguasai internet untuk pengembangan diri mereka dalam peningkatan kompetensi belajar diantara sesama siswa. Sehingga akan tercipta iklim belajar yang kompetitif.

Namun bagaimana halnya dengan sekolah-sekolah yang masih berkembang apalagi yang masih tertinggal? Tentu tidak bisa disamakan begitu saja dengan sekolah yang maju karena perbedaan sarana dan prasarana yang dimiliki. Dengan sarana yang masih standar bahkan minim, bagaimana kita bisa mampu menyaingi sekolah-sekolah yang maju tersebut? Tentu tak hayal kita bisa menyikapi permasalahan tersebut dengan pemanfaatan teknologi yang sudah semakin berkumbang saat ini sehingga mampu sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Khususnya dalam hal keterbatasan buku-buku penunjang atau referensi pembelajaran di kelas baik bagi guru maupun siswa yang juga tidak tersedia di perpustakaan.

E-Book Sebagai Alternatif yang Efektif

Dengan perkembangan internet yang semakin pesat, segala informasi tersedia di internet. Kita tinggal mendownload dan save di komputer kita untuk dipergunakan dalam berbagai keperluan. Apalagi pemerintah melalui jardiknas telah membangun jaringan edukasi pendidikan on-line berbasis internet di seluruh plosok nusantara. Tentunya sangat memungkinkan bagi kita untuk mengeksplor lebih dalam lagi fitur-fitur layanan yang tersedia di internet. Salah satunya adalah e-book atau buku elektronik. Disebut elektronik karena tidak seperti buku-buku yang beredar dalam versi cetek melainkan dalam format data didital atau elektronik.

E-Book adalah singkatan dari electronic book atau versi elektronik dari buku cetak yang bisa dibaca dengan menggunakan Personal computer (PC) atau software khusus untuk membaca e-book seperti Microsoft free Reader dan Nuvomedia's Rocket eBook. Pengguna dapat membeli atau memperolehnya ke dalam disket atau CD, namun metode yang paling popular untuk mendapatkan e-book tersebut adalah dengan download file e-book dari Web site (seperti Barnes dan Noble) untuk dapat dibaca langsung dari computer pengguna. Pada umumnya e-book dapat didownload dalam lima menit bahkan kurang bergantung ukuran file dan besar keciknya bandwidth koneksi yang dipakai.

Dimana kebanyakan e-book tersebut berformat PDF atau Portable Document Format, format baru yang kini semakin populer di internet untuk kepentingan transfer atau sharing dokumen. Dokumen tersebut dapat di buka dengan software khusus untuk membaca dokument berfotmat PDF seperti Adobe Acrobat Reader dan FoxIt Reader. Di GNU/Linux biasa digunakan Kpdf dan Xpdf. Itu berarti format PDF mendukung lintas flatform berbagai sistem operasi.

Dengan tersedianya koneksi interset di sekolah, kita dapat dengan mudah mengakses dan mendownload berbagai e-book dari situs-situs yang menyediakannya. Apalagi dengan menguasai teknik pencarian di berbagai search engine dan layanan bantuan lainnya kita dengan mudah menemukan buku-buku dan referensi yang hendak kita cari secara on-line dan real time untuk berbagai keperluan utamanya dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas.

Banyak keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan e-book sebagai penunjang pembelajaran. Salah satunya ialah mengasah wawasan dan kemampuan dalam mengakses informasi di internet. Dengan memanfaarkan e-book maka secara otomatis kita telah mampu menjajal dunia maya atau internet. Secara logika untuk menjadikan e-book berada di tangan kita, terlebih dahulu kita melalui proses yang bertahap dan dengan tingkat kesulitan yang aberbeda-beda mulai dari menentukan dimana kita memulai pencarian dari awal apakah menggunakan bantuan serach engine atau langsung dari web site penyedia. Kemudian ini yang paling sulit, mencari dan memilih ribuan bahkan jutaan data yang ada. Jika belum terbiasa, maka hal ini dirasakan sangan sulit dan memakan banyak waktu. Namun bagi yang sudah terbiasa dan menguasai berbagai teknik pencarian, hal ini tak menjadi kendala yang berarti. Setelah e-book yang didapat sesuai dengan yang kita cari, kemudian kita mendownloadnya dan menyimpan ke komputer kita atau ke media penyimpanan lainnya. Hingga e-book tersebut siap dipergunakan.

Keuntungan yang tak kalah pentingnya yaitu e-book tersebut dapat diolah kedalam berbagai format data yang lain dan media pembelajaran yang sangat interaktif lain seperti Ms Word, Ms Excel, Ms PowerPoint, flas objek, dan masih banyak lagi dengan bantuan software converter.

Di samping itu, dengan format digital maka akan mengurangi pemakaian kertas untuk mencetak buku tersebut. Haal ini bisa menghematan pemakaian kertas dan secara tidak langsung akan mengurangi penebangan kayu untuk bahan baku kertas tersebut.

Maka kita dituntut pro aktif mengembangkan wawasan dan kemampuan dalam mengakses informasi khususnya e-book di internet. Karena untuk mendapatkan e-book tersebut, hal di atas mutlah harus dikuasai. Kecuali kita minta dari teman ya tinggal copy paste saja. tapi kita hanya mengandalkan kemampuna teman saja tanpa ada usaha untuk mendapatkannya.

Sehingga dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, kita mampu memenfaatkannya secara efektif untuk mendukung dan mempermudak aktivitas kita sehari-hari khususnya dalam proses belajar mengajar di sekolah. Keterbatasan sumber dan referensi di perpustakaan tidak lagi menjadi kendala setelah mampu memanfaatkan e-book tersebut secara efektif. Dan pada akhirnya kita bisa berjalan di atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi walau dengan sarana dan prasarana yang “minim”, semoga.***

I Nyoman Gede Wiryawan

SMA N 1 Selemadeg,

Bajera-Tabanan

UPAYA PEMERINTAH RI ANTISIPASI MELAMBUNGNYA HARGA MINYAK DI PASAR INTERNASIONAL

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan masalah yang sangat penting dan perlu kita pikirkan bersama untuk kedepannya. Kenaikan harga BBM ini dipicu dengan naiknya harga minyak di pasar Internasional. Hal ini menyangkut dengan nasib Bangsa Indonesia, apalagi ditambah dengan banyaknya angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan harga BBM akan semakin menjadi beban bagi rakyat Indonesia. Khususnya untuk masyarakat yang golongan ekonominya menengah ke bawah.

Maka dari itu,untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dari pihak rakyat, kini pemerintah tengah menggalakkan program “subsidi BBM”. alangkah baiknya, jika program ini ditujukan kepada seluruh warga Indonesia, khususnya warga yang kurang mapan tingkat ekonominya. Namun, program ini sangat berpengaruh dengan APBN tahun 2007 serta APBN dari tahun ke tahun.

Mengapa masyarakat (perlu) menolak kenaikan BBM ?. Pertanyaan inilah yang perlu kita kaji. Berdasarkan pendpaat dari pada pakar perminyakan.

Pertama, sebagaimana terungkap dalam UU Minyak dan Gas No. 22/2001, penghapusan subsidi BBM sesungguhnya merupakan prakondisi bagi masuknya perusahaan - perusahaan multinasional pertambangan minyak dan gas asing ke dalam perbisnisan minyak di Indonesia.

Kedua, pemberian subsidi BBM samasekali tidak melenceng pada golongan mampu dan orang kaya, melainkan sistem perekonomian Indonesia-lah yang sudah terlanjur sangat timpang. Jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan ataupun subsidi kesehatan, keberadaan pemerintah pun sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya.

Ketiga, subsidi BBM sama sekali tidak harus dijadikan kambing hitam penyebab deficit APBN. Volume subsidi BBM terhadap produk domestic bruto (PDB), kian meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana terungkap didalam edisi nota keuangan. Kemungkinan terbesar dari deficit APBN dipicu oleh sangat besarny volume pembocoran dan pemborosan APBN setiap tahunnya.

Keempat, harga minyak bumi di kancah Internasional sama sekali bukanlah alas an yang dapat dijadikan faktor utama penghapusan subsidi BBM. Sebab, akibat dari kejadian ini, pemerintah sebanrnya mendapat “rejeki nomplok”. Berdasarkan hasil dari suatu pengamatan, ternyata hasil ekspormigas Indonesia senantiasa lebih besar dari pengeluaran impor migas Indonesia setiap tahunnya.

Kelima, penghapusan subsidi BBM dipastikan akan memicu kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat lainnya. Apalagi ditambah dengan banyaknya angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini akan semakin menambah beban hidup rakyat Indonesia.

Berdasarkan data yang dikutip dari CNN bahwa, kenaikan harga minyak tidak hanya terjadi di tanah air, seluruh Negara pun mengalami hal serupa, termasuk didalamnya Negara adidaya, Amerika Serikat. Selain itu, harga BBM di Amsterdam (Belanda) adalah yang lebih mahal yaitu setara dengan Rp. 17.564/liter. Sementara, yang termurah adalah di Caraccas (Venezuela) yaitu setara dengan Rp. 325/liter. Untuk itu, masihkah anda bermimpi untuk mendapatkan harga bensin yang murah ?.

Meninjau Negara kita sebagai Negara pngimprt minyak, ekonomi Indonesia saat kini bak telur di ujung tanduk. Mengingat konflik di timur Tengah yang kian tak berujung. Dari ketegangan Turki-Irak serta pipa minyak Irak Selatan yang berulang kali di sabotase serta ditambah dengan ketegangan antara Syria - Israel - Lebanon.

Sedangkan didalam APBN, harga minyak hanya diprediksikan sekitar $ 60 per barrel dengan kenaikan 33% mau tak mau akan berimbas ke Indonesia. Kenaikan harga BBM sepertinya sudah pasti, tapi kapan ?. Mengingat pemilu tinggal 1,5 tahun lagi, pemerintahan SBY ntah akan menahan kenaikan BBM hingga pemilu atau tidak.

Perlu kita ketahui, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah RI yang disetujui oleh DPR dan ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam asumsi APBN, terdapat tujuh daftar perekonomian makro yang diantaranya adalah harga minyak per barell (US DOLLAR). Untuk dapat mengantisipasi kenaikan harga minyak, pemerintah Indonesia kini tengah mencanangkan program “Subsidi BBM”. Maka dari itu keterkaitan subsidi di BBM akan sangat berpengaruh bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, baik pusat ataupun daerah.

Kenaikan harga minyak dunia yang mencapai 93 AS Dollar per barrel, di yakini tidak akan mengganggu APBN 2007. Menurut anggota Komisi VII DPR, Suharso Monoarfa menyatakan bahwa angka 93 AS Dollar tak berpengaruh pada subsidi BBM dengan syarat, jumlah konsumsi BBM bersubsidi haruslah terkontrol. Ia juga menambahkan, “Sekalipun harga minyak menembus 100 AS Dollar, tak akan mempengaruhi APBN saat ini jika jumlah konsumsi BBM bersubsidi tidak meningkat”.

di samping itu, beliau juga beranggapan bahwa setidaknya penggunaan BBM bersubsidi diperuntukkan bagi transportasi umum, bukan untuk kendaraan pribadi. Kalaupun kendaraan pribadi yang menerima subsidi BBM, haruslah mereka yang dipergunakan sebagai transportasi umum, ojek misalnya. Hal ini belaiu tegaskan mengingat pentingnya dan utamanya kepentingan bersama.

Sementara itu, menurut pengamat perminyakan, Kurtabi mengatakan bahwa dengan melonjaknya harga minyak dunia yang saat ini telah menembus angka 93 AS Dollar per barel tentu saja akan mempengaruhi APBN. Tentu saja pendapat ini sangat bertolak belakang dari pendapat Suharso. Kurtubi juga menambahkan, “Jika saja harga minyak menembus kisaran 80 AS Dollar, maka itu sangat mengganggu APBN”. Selain itu, juga diprediksikan bahwa penggunaan BBM bersubsidi bagi PLN khususnya, akan senantiasa meningkat.

Selain itu, Kurtubi beranggapan bahwa konsumsi BBM bersubsidi dalam rumah tangga menurun jika konversi minyak tanah pemerintah berjalan lancar. Tapi, jika konversinya berjalan lambat, ya seperti saat ini. Tabung kurang …..!, kompor kurang ….!”. Susahkan untuk bisa menurunkan konsumsi BBM bersubsidi dalam rumah tangga “. keluhnya.

Berbagai macam usaha telah banyak dikeluarkan oleh pemerintah Bangsa Indonesia saat ini. Pemerintah menyiapkan mekanisme baru pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada rakyat Indonesia, khususnya untuk membahagiakan “rakyat cilik”. Ini dicanangkan oleh pemerintah sehubungan dengan melambungnya harga minyak mentah dunia yang mencapai angka diatas US $ 99 per barel.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusguntoro menyatakan, “Konsep Pemberian Subsidi BBM ini tidaklah salah, melainkan sistem yang digunakan saat ini harus di renovasi. Salah satu opsi yang di kaji pemberian subsidi BBM secara langsung, tidak berupa harga seperti saat ini.; Meski beliau penerapan dengan cara itu lebih sulit”. Ongkos politik dan sosial lebih mahal butuh waktu pula untuknya “. katanya.

Saat ini konsumsi BBM mencapai 1 juta barel ekuivalen minyak per hari. 40% dari angka tersebut menggunakan harga pasar, sedangkan sisanya 60% masih di subsidi oleh pemerintah. Di samping itu, pemerintah tengah berusaha dengan menganggarkan subsidi minyak senilai Rp. 56 triliun tahun ini. Tapi, entah kenapa lonjakan minyak dunia telah melambungkan beban subsidi menjadi Rp. 91 triliun.

Selain itu, opsi lain yang tengah dikaji adalah pengurangan volume BBM bersubsidi misalnya premium dan minyak tanah. Bahan-bahan ini adalah penyumbang beban terbesar dalam subsidi BBM kuota perbandingan antara premium dengan minyak tanah adalah 17 : 10.

Menuntut Purnomo, pilihan yang tak mungkin dapat dilaksanakan pemerintah adalah dengan menaikkan harga BBM atau dengan menggabungkan antara menaikkan harga BBM dengan menurunkan volume BBM. “Yang paling penting, mungkin hanya opsi mengurangi pemakaian volume BBM.” ujarnya. Selain itu, beliau juga menambahkan, “Mengurangi volume BBM itu tidaklah mudah karena menyangkut kebiasaan dari masyarakat di zaman globalisasi seperti sekarang ini

Mungkin saja itulah sebabanya. “strategi yang mungkin bisa diambil oleh pemerintah adalah dengan mengurangi volume premium dan minyak tanah yang kemudian diganti dengan energi alternatif lainnya yang lebih murah” ujarnya. Tak putus, beliau menyanggah bahwa langkah tersebut berarti ada pembatasan konsumsi BBM. “Kami masih mengkaji detail, bagaimana mengurangi subsidi BBM dengan tanpa menaikkan harga BBM”. tuturnya.

Saat ini pemerintah tengah melaksanakan program konversi minyak tanah ke gas elpiji (LPG) guna mengurangi volume pemakaian minyak tanah bersubsidi. Sementara itu, untuk mengurangi volume premium. Beliau menuturkan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan untuk memperluas pemakaian bahan bakar khusus yang tidak disubsidi, contohnya Pertamax. Menurutnya, “Pemerintah perlu membahas rencana perluasan penggunaan bahan bakar khusus ini dengan PT. Pertamina (Persero). Selain itu, kemungkinan lain adalah menambah kadar oktan premium, misalkan saja premium dengan ron 90 (saat ini premium dengan ron 88).

Beliau juga menambahkan, “yang kami harus pastikan ke pertamina sekarang yakni, apakah dimungkinkan membuat gasoline (bensin) tanpa memakai ron 88, tapi dengan nilai oktan yang lebih tinggi untuk kendaraan pribadi misalnya”. rencana itu pun menurut Purnomo, Mustahil dapat dilaksanakan dalam waktu sekejap. Mengapa ? Karena pihak pertamina sendiri butuh waktu untuk memperoduksi premium dengan ron 90. ”Harus bertahap, Pertamina kan tidak bisa sekaligus membuat premium dengan ron 90 dalam jangka waktu yang singkat. “ujarnya.

Untuk itu, kita sebagai bangsa Indonesia, patut mengacungi jempol dengan adanya usaha-usaha dari pemerintah kita untuk mengantisipasi melambungnya harga minyak di pasar Internasional. Maka dari itu, kini pemerintah tengah melaksanakan program BBM bersubsidi dan itupun perlu pemikiran serta pertimbangan - pertimbangan yang pasti guna mengutamakan kepentingan bersama.

INDETITAS PENULIS

NAMA :I GEDE EKA ADE FRAMA

TEMPAT /TANGGAL LAHIR :SURABAYA,13 APRIL 1990

KELAS :XII IPA

NAMA/ALAMAT SEKOLAH :SMA NEGRI 1 SELEMADEG

JL.GELOGOR BAJERA

SELEMADEG,TABANAN

GURU PENDAMPING :I MADE WARDITA,S.Pd

KEPALA SEKOLAH :Drs. I WAYAN GENDRA,MM

Hp PENULIS :081916431944

e-mail :deekaokoh@yahoo.co.id

Budaya Meneliti Rendah: Mengapa dan Bagaimana?

Guru diharapkan memiliki memiliki motivasi dan kemampuan yang tinggi untuk melakukan penelitian. Mengapa? Guru yang terbiasa menekuni aktivitas baca-tulis bernalar (melakukan penelitian) diyakini akan senantiasa bangkit kepekaan ilmiahnya. Guru yang memiliki kepekaan ilmiah yang cukup bagus akan terbiasa melakukan refleksi berkenaan dengan proses belajar mengajarnya. Hasil refleksinya akan memotivasi dirinya untuk melakukan inovasi pembelajaran. Dan, inovasi pembelajaran yang dilakukan akan dapat meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran apabila dirancang, diimplementasikan, dan dianalisis secara ilmiah dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK).

Guru yang terbiasa melakukan penelitian atau mengikuti lomba-lomba akademik umumnya selalu berusaha meningkatkan wawasan keilmuannya. Sehingga diyakini keempat kompetensinya akan meningkat pula.

Sejak diberlakukannya Keputusan Menpan No. 84/1993, tentang Sistem Kenaikan Pangkat Guru Berdasarkan Angka Kredit, sebenarnya guru sudah dianjurkan melakukan penelitian. Belakangan, dalam uji sertifikasi, karya ilmiah guru menjadi salah satu komponen yang harus ada dalam portofolio guru (Peraturan Mendiknas No. 18/2007).

Mengapa budaya meneliti di kalangan guru masih rendah? Pertama, awalnya cukup banyak guru yang memiliki minat untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) tetapi akhirnya terputus di tengah jalan. Guru sering berhadapan dengan sejumlah kendala seperti keterbatasan tenaga, dana, dan akses untuk menambah wawasan intelektualnya.

Kedua, guru sering berhadapan dengan iklim yang kurang kondusif untuk membangkitkan aktivitas ilmiahnya. Di institusi pendidikan kita saat ini belum sepenuhnya berkembang iklim masyarakat belajar (learning culture).

Ketiga, guru-guru yang telah berhasil meraih prestasi akademik, misalnya menjadi juara dalam lomba karya ilmiah guru, terkadang tidak mendapatkan penghargaan yang proporsional dalam pengembangan kariernya. Saat ini promosi atau pengembangan karier guru lebih banyak ditentukan oleh faktor “khusus”.

Untuk membangkitkan motivasi guru dalam melakukan penelitian, perlu dilakukan beberapa alternatif. Pertama, memberikan penghargaan yang proporsional terhadap guru yang telah berhasil meraih prestasi akademik. Guru yang berhasil meraih prestasi, misalnya menjuarai lomba-lomba karya tulis guru atau berprestasi menulis karya ilmiah populer di media massa, semestinya diberikan kesempatan untuk meraih promosi dalam kariernya.

Kedua, institusi pendidikan hendaknya menempatkan penelitian guru sebagai salah satu program prioritas. Alokasi dana sekolah hendaknya juga digunakan untuk membiayai penelitian guru.

Ketiga, pemerintah daerah semestinya berani menganggarkan dana untuk penelitian guru dalam APBD-nya.

Kempat, sekolah atau pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi guru-guru untuk membentuk forum ilmiah guru dan menerbitkan jurnal penelitian guru.

Alternatif-alternatif di atas bisa saja tidak efektif apabila guru tidak memiliki motivasi internal yang cukup. Untuk itu, dalam era globalisasi dan komunikasi seperti sekarang ini, guru seyogyanya tidak pasif atau menyalahkan pihak-pihak lain. Akses untuk menambah pengetahuan telah terbuka lebar. Di samping itu, pemerintah pusat cukup sering menggulirkan bantuan block grant, untuk mendanai penelitian guru.

Meningkatkan wawasan dalam penelitian ilmiah dapat pula dilakukan dengan mencari pengalaman dalam lomba-lomba karya ilmiah guru yang sering diadakan oleh Perguruan Tinggi, Depdiknas, atau institusi-institusi lain. Semoga!

GURU DALAM KTSP

Telah terjadi revolusi besar dalam dunia pendidikan dasar dan menengah kita. Melalui Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pemerintah meluncurkan kurikulum baru yang diberi nama kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum ini diberlakukan mulai tahun pelajaran 2007/2008. Kurikulum yang memberikan otonomi di tingkat sekolah ini memposisikan guru sebagai pengembang sekaligus pelaksana kurikulum.

Memang, banyak yang kaget. Mengapa terlalu cepat terjadi pergantian kurikulum? Kurikulum 2004—yang lebih dikenal dengan KBK—baru berjalan sekitar tiga tahun. Namun, tiba-tiba sudah muncul kurikulum baru. Pertama, kalangan pemerhati pendidikan menyatakan bahwa KBK terlalu sentralistik sehingga belum sepenuhnya relevan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Menurut pasal 38 UU No.:20/2003 kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Departemen Agama.

Kedua, karena terlalu sentralistik KBK belum memberikan iklim kondusif bagi institusi pendidikan, khususnya guru, dalam melakukan inovasi pengembangan dan pengimplementasian kurikulum. Dalam KBK lebih dari delapan puluh persen kurikulum ditentukan oleh pusat. Dari standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran, sumber belajar, sampai alokasi waktu telah ditentukan dalam penataan yang baku. Sekolah (guru) hanya diberikan berinovasi dalam pengembangan pengalaman belajar siswa. Sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana guru bisa mengembangkan pengalaman pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dan dialogis—sebagaimana amanat pasal 40 (1) UU No.20/2003—sedangkan penataan kurikulum begitu kaku dan ketat.

Kurikulum yang kurang memberikan peluang bagi bangkitnya inovasi sekolah (guru) diyakini tidak akan mampu meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan. Sebab sistem yang ada menyebabkan guru terjebak pada pembelajaran tradisional yang memandang siswa adalah subjek pasif. Guru terbiasa menerapkan pendidikan gaya bank. Suyatno (2004) mengungkapkan daftar antagonis pendidikan gaya bank yang sangat magis dan naif sebagai berikut: guru mengajar murid belajar; guru tahu segalanya murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir murid dipikirkan; guru bicara murid mendengarkan; guru mengatur murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya murid menuruti; guru bertindak murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru; guru memilih apa yang diajarkan murid menyesuaikan diri; guru mengacaukan wewenang wawasan yang dimilikinya dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid; dan guru adalah subjek proses belajar murid objeknya.

Menurut Drs. I Wayan Gendra, tim instruktur KTSP Provinsi Bali, pembelakuan KTSP diharapkan dapat memacu tumbuhnya learning culture di setiap institusi. Secara institusi guru akan terlibat langsung dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum. Misalnya dalam penentuan mata pelajaran, muatan lokal, pengembangan diri, dan sebagainya. Secara individual guru dituntut mampu mengembangkan silabus pembelajaran secara berkelanjutan. Dan, aktivitasnya itu tidak pernah selesai karena kurikulum harus dikembangkan secara berkelanjutan.

Learning culture diyakini dapat meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan. Tidak ada pilihan lain. Sekolah harus sering mengadakan worshop atau pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya. Sekolah harus menjalin kemitraan dengan institusi di bawahnya atau di atasnya serta perguruan tinggi. Guru harus menekuni aktivitas baca-tulis bernalar. Guru harus mau melakukan refleksi diri dan melakukan penelitian ilmiah—penelitian tindakan kelas—dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Setiap informasi baru harus dikejar guru dari segenap penjuru, misalnya dari buku-buku, seminar, atau internet.

Kurikulum tingkat satuan pendidikan mengisyaratkan agar sekolah dan guru terus-menurus melakukan inovasi. Guru diisyaratkan segera meninggalkan pola pembelajaran gaya bank yang menganggap anak sebagai sebuah bejana kosong. Dalam mengembangkan strategi pembelajaran guru, seyogyanya beranjak dari paradigma,”Pikiran (siswa) bukanlah wadah yang harus diisi melainkan api yang harus dinyalakan.” Sehingga, skenario pembelajaran yang diterapkan guru dapat membawa anak untuk mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) secara optimal.

Kendala

KTSP yang memberikan peluang kepada sekolah dan guru untuk berinovasi, secara ideal memang diyakini akan mendongkrak mutu proses dan hasil pendidikan kita. Namun, dalam realitasnya mungkin saja tidak demikian. Hal ini karena sejumlah faktor.

Pertama, guru memiliki cukup banyak kendala seperti keterbatasan tenaga, waktu, dan dana. Sistem pembelajaran kita yang sangat klasikal membuat guru akan kehabisan tenaga karena padatnya jam mengajar. Akibatnya, guru tidak sempat lagi memikirkan pengembangan kurikulum. KTSP mengisyaratkan guru-guru mampu mengakses informasi terbaru seluas-luasnya dari berbagai sumber, termasuk dari internet. Jujur saja penghasilan yang diterima guru belum memadai untuk mendukung hal tersebut. Memang angin segar sudah dihembuskan. Sesuai amanat UU No. 14 tahun 2005 guru dijanjikan akan memperoleh penghasilan yang cukup besar apabila lulus uji sertifikasi. Tapi kapan janji ini menjadi kenyataan? Tim sertifikasi saja belum jelas; sudah ada atau belum?

Kedua, belum tersedianya tenaga yang mendukung. Hal ini tampak pada jenjang SD. Untuk mengembangkan kurikulum di SD semestinya ada konselor dan dibantu oleh staf administrasi.

Ketiga, dampak dari pemberlakuan sertifikasi guru. Dalam realitasnya yang diuji lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat administrasi. Karena untuk bisa mengikuti sertifikasi, guru harus punya dokumen (perangkat pembelajaran) lengkap selama lima tahun. Saat ini, guru cemas dan sibuk menyiapkan hal tersebut. Akibatnya, hampir tidak ada waktu lagi untuk mengembangkan kurikulum, termasuk merancang inovasi pembelajaran.

Keempat, di sekolah-sekolah kita arah pembicaran guru belum sepenuhnya berorientasi pada budaya mutu. Saat ini guru dianggap berprestise apabila sukses dalam bisnis di luar. Dan, bagaimana cara meraih sukses itulah yang menjadi perbincangan menarik. Guru dianggap tidak berprestise apabila hanya sukses dalam mengembangkan inovasi pembelajaran sedangkan secara ekonomi tidak ada kemajuan. Sehingga, yang terakhir tidak menarik untuk diperbincangkan.

Kelima, iklim politik yang belum kondusif. Guru yang berprestasi semestinya layak dipromosikan kariernya. Tapi, saat ini karier guru lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat nonakademis.

Dengan demikian, tampaknya perlu usaha yang bersifat holistik dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan dalam era KTSP. Guru harus disejahterakan lebih dahulu. Jangan hanya diberikan mimpi indah dalam sebuah undang-undang. Uji sertifikasi disederhanakan dan quotanya diperbanyak. Jika pemerintah tidak punya dana, dibatalkan saja. Berikutnya, prestasi guru harus dijadikan syarat untuk untuk mempromosikan kariernya. Di samping itu, sekolah harus mengembangkan budaya mutu. Sekolah hendaknya mengalokasikan dana yang cukup dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) untuk mendukung kegiatan inovasi guru. ***

I Made Wardita

Guru SMAN 1 Selemadeg

Jl. Gelogor, Bajera, Tabanan

MEMUPUK NASIONALISME

Suatu hari penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang veteran di sebuah kantor post di Tabanan. Mantan pejuang tersebut merasa sedih karena akhir-akhir ini rasa nasionalisme dirasakan semakin memudar di republik ini. Menurutnya, perayaan-perayaan peristiwa sejarah terasa kurang gregetnya. Banyak anak sekolah tidak fasih, bahkan tidak hafal, dengan lagu kebangsaan kita. Ketika mengikuti apel peristiwa sejarah, misalnya Hari Pahlawan, banyak peserta apel yang melakukan kegiatan mengheningkan dengan cipta setengah hati. Di samping itu, cukup banyak generasi muda kita yang kurang bangga terhadap bendera kebangsaan dan bahasa Indonesia. Dan, yang paling menyedihkan, ada kecenderungan generasi muda kita lebih bangga menjadi anak daerah atau anak suku daripada menjadi anak Indonesia.

Kesedihan seorang veteran tersebut bisa jadi menjadi kesedihan bangsa dan negara kita pada masa yang akan datang jika tidak segera dicarikan solusinya. Sebab, fanatisme suku atau golongan yang berlebihan pada generasi penerus bangsa kita, merupakan ancaman yang cukup serius dan mengkhawatirkan bagi kekokohan negara kesatuan republik Indonesia. Apabila nasionalisme semakin memudar, letupan-letupan akan muncul di berbagai daerah.

Para pendiri republik ini telah menorehkan tinta emas untuk anak-anak dan cucu-cucu kita. Mereka berhasil membangun semangat nasionalisme walaupun mereka terdiri atas cukup banyak suku bangsa. Dengan terbentuknya nasionalisme pada hati sanubari setiap suku bangsa di bumi persada nusantara, mereka akhirnya bangkit semangat patriotismenya. Mereka bersatu padu berjuang untuk melenyapkan penjajah sampai titik darah penghabisan.

Nasionalisme dan patriotisme akhirnya bersemi subur di negeri yang berbhineka tunggal ika. Itu sangat terasa sebelum Indonesia merdeka hingga era awal-awal kemerdekaan Indonesia. Kemudian, torehan tinta emas para pendiri repulik ini berhasil dipupuk terus sehingga tetap subur ketika sistem pemerintahan negara kita masih sentralistik.

Namun, belakangan setelah otonomi daerah diberlakukan, nasionalisme dirasakan kian memudar. Memang otonomi daerah telah memberikan kemajuan dan sejumlah harapan baru bagi bangsa kita ke depan. Namun, di sisi lain—berkenaan dengan semangat kebangsaan—memberikan implikasi yang tidak baik bagi anak-anak generasi muda kita. Apabila dibiarkan, kemungkinan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup negara kesatuan Republik Indonesia.

Taman Bhineka

Bung Karno sering mengungkapkan bahwa masa depan bangsa dan negara kita terletak di pundak anak cucu kita. Sebab merekalah yang akan menakhodai “kapal” Indonesia kelak. Untuk itu, mereka perlu diberikan ruang yang kondusif bagi bangkitnya semangat kebangsaannya. Sejak kecil mereka perlu diberikan ruang dan waktu yang cukup untuk bermain dan bersosialisasi dalam lingkungan (taman) yang berbhineka tunggal ika.

Pertama, anak-anak dimotivasi untuk bersosialisai dengan teman-temannya yang berbeda suku di lingkungan sekolahnya. Dalam konteks ini, guru hendaknya memposisikan diri sebagai motivator, fasilitator, dan mediator.

Kedua, anak-anak hendaknya dibiasakan melihat perbedaan sehingga akhirnya terbiasa menghargai perbedaaan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk wadah, misalnya kelompok bermain, yang anggotanya berasal dari anak-anak yang latar belakangnya—termasuk suku—yang berbeda. Anggota dari kelompok bermain ini bisa saja berasal dari anak-anak yang di sekitar kompleks perumahan kita. Yang penting, ada komitmen bersama dari para orang tua.

Ketiga, setiap keluarga hendaknya membiasakan membangun tali silaturahmi dengan keluarga lain, misalnya yang berbeda suku bangsa atau agama. Anak-anak dapat diajak saling berkunjung pada saat hari raya keagaman. Anak-anak diberikan kesempatan saling mengucapkan selamat hari raya, misalnya via SMS atau email. Anak-anak perlu juga dimotivasi untuk menjalin sahabat pena dengan anak-anak dari daerah lain.

Keempat, sekolah atau pranata lain, misalnya desa/RT/RW, sewaktu-waktu perlu melaksanakan kegiatan yang dapat memupuk tali persahabatan dan rasa kebangsaan bagi anak-anak. Kegiatan ini misalnya dapat dilakukan untuk menyambut perayaan Hari Pahlawan. Aktivitas yang dipilih misalnya lomba-lomba yang bersifat rekreatif dan memerlukan kerjasama atau kekompakan. ***

Oleh: I Made Wardita, S.Pd

Guru SMAN 1 Selemadeg

Jl. Gelogor Bajera, Selemadeg, Tabanan

UJI SERTIFIKASI: PELUANG DAN TANTANGAN BAGI GURU

Oleh: I Made Wardita, S.Pd

Guru SMAN 1 Selemadeg, Tabanan, Bali.

Uji sertifikasi guru adalah kebijakan yang cukup tepat untuk meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan kita. Dengan diterapkannya uji sertifikasi, diharapkan muncul implikasi yang positif terhadap guru dalam membangun kompetensinya. Jika guru telah tumbuh motivasinya untuk membangun atau meningkatkan kompetensinya, diyakini guru akan semakin berkualitas. Hal ini tentu berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan kita.

Di samping itu, sertifikasi merupakan salah satu upaya untuk mensinergikan peningkatan anggaran (alokasi dana) untuk kesejahteraan guru dengan peningkatan kualitas guru. Sebab, menaikkan gaji guru begitu saja seperti yang telah dilakukan tahun-tahun terdahulu belum sepenuhnya efektif jika dikaitkan dengan tujuan meningkatkan kualitas guru. Menaikkan gaji guru tanpa menerapkan sistem uji kompetensi tidak akan memacu guru untuk mengubah paradigmanya, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas dirinya.

Guru yang berkualitas layak memperoleh kesejahteraan yang memadai, bahkan melebihi rekan-rekannya. Mereka layak memperoleh prestise atas prestasinya tersebut. Dengan kata lain, rupanya pemerintah ingin menerapkan sistem penghargaan yang bersifat kompetitif dan proporsional. Apabila guru ingin memperoleh hak (gaji) yang lebih besar, mau tidak mau guru harus meningkatkan keempat kompetensinya secara berkelanjutan. Dan, guru yang berhasil memenangkan persaingan—memperoleh sertifikat uji kompetensi—adalah guru-guru yang terbiasa melakukan aktivitas ilmiah yang bersentuhan dengan pengembangan kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Menurut Peraturan Mendiknas No. 18/2007, uji kompetensi (sertifikasi) guru dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru selama perjalanan kariernya. Guru yang terbiasa melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional secara berkelanjutan tidak akan mengalami hambatan dalam mengikuti sistem penilaian portofolio.

Dalam instrumen portofolio ada sepuluh aspek yang dinilai, yaitu: (a) kualifikasi akademik; (b) pendidikan dan pelatihan; (c) pengalaman mengajar; (d) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (e) penilaian dari atasan dan pengawas; (f) prestasi akademik; (g) karya pengembangan profesi; (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (i) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan seosial; dan (j) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Hambatan

Dari semua aspek tersebut, butir prestasi akademik dan karya pengembangan profesi merupakan variabel yang paling sulit dipenuhi oleh guru. Pertama, prestasi akademik dan karya pengembangan profesi berkorelasi erat dengan minat dan kemampuan seorang guru dalam menekuni aktivitas baca-tulis bernalar. Guru yang terbiasa mengikuti kompetisi ilmiah misalnya mengikuti lomba karya ilmiah guru, lomba inovasi pembelajaran, atau lomba kreativitas guru akan memiliki cukup banyak nilai prestasi akademik. Guru yang memiliki minat yang tinggi menulis artikel di media massa, melakukan penelitian tindakan kelas, menulis modul/diktat, membuat media pembelajaran, atau menerjemahkan buku, diyakini akan memiliki nilai yang cukup banyak dalam aspek pengembangan profesi. Masalahnya, belum banyak guru yang terbiasa bergelut dengan aktivitas ilmiah tersebut.

Kedua, awalnya cukup banyak guru yang memiliki minat untuk menekuni aktivitas ilmiah—mencari prestasi akademik dan melakukan kegiataan pengembangan profesi—tetapi akhirnya terputus di tengah jalan karena berhadapan dengan sejumlah kendala seperti keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan akses untuk menambah wawasan intelektualnya.

Ketiga, guru sering berhadapan dengan iklim yang kurang kondusif untuk membangkitkan aktivitas ilmiahnya. Di institusi pendidikan kita saat ini belum sepenuhnya berkembang iklim masyarakat belajar (learning culture). Padahal, learning culture dapat memacu berseminya ide-ide kreatif guru untuk meraih prestasi akademik dan pengembangan profesi.

Keempat, guru-guru yang berhasil meraih prestasi akademik dan pengembangan profesi terkadang belum mendapatkan penghargaan yang proporsional dalam kariernya. Saat ini belum semua orang terbiasa melihat pancaran prestise seorang guru dari aspek ini. Guru justru dianggap lebih berprestise apabila sukses mengembangkan usaha/bisnis di luar jam kerjanya.

Solusi: Forum Ilmiah Guru

Guru dituntut menekuni kegiatan pengembangan profesi dan meraih prestasi akademik sebenarnya sudah digulirkan pemerintah sejak diberlakukannya Kep Menpan No. 84/1993 tentang Sistem Kenaikan Pangkat Guru Berdasarkan Angka Kredit. Sehingga, guru yang terbiasa menekuni aktivitas ilmiah tersebut telah terbukti mampu naik pangkat/jabatan sampai Guru Pembina Tingkat I IV/b ke atas. Hanya saja sampai saat ini hanya sebagian kecil guru yang berhasil mencapai jenjang pangkat tersebut. Beranalogi dengan hal tersebut, diprediksikan bahwa guru akan menghadapi realitas yang sama dalam mengikuti sistem uji sertifikasi.

Memang, dalam pasal 2 Kep Mendiknas No. 18/ 2007 dinyatakan bahwa guru yang tidak lulus penilaian protofolio diberikan kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau atau diberikan diklat profesi guru yang diakhiri dengan ujian. Apabila dalam diklat pertama belum lulus, diberikan diklat kedua. Tetapi, mengingat jumlah guru yang menunggu giliran uji sertifikasi cukup besar, peluang untuk mengikuti diklat sertifikasi menjadi sangat kecil dan sangat lama waktu tunggunya.

Guru hendaknya memaknai uji sertifikasi sebagai peluang sekaligus tantangan untuk maju. Dengan demikian, guru seyogyanya menyambutnya dengan jurus yang tepat. Pembentukan forum ilmiah guru adalah salah satu alternatif solusinya.

Forum ilmiah guru merupakan wadah bagi berseminya aktivitas ilmiah guru. Dalam forum ini guru dapat membangkitkan kepekaan ilmiahnya, meningkatkan wawasan keilmuannya, dan menyalakan obor kreativitas serta inovasinya sehingga dapat meraih prestasi akademik dan menghasilkan karya pengembangan profesi guru.

Forum ilmiah guru adalah sebuah media informasi, komunikasi, dan kreasi guru dalam meningkatkan kompetensinya.

Guru yang telah berhasil membentuk forum ilmiah, misalnya di kabupaten/kota, akan lebih mudah melaksanakan aktivitas ilmiah yang bersifat implementatif seperti: (1) melaksanakan diklat atau workshop yang mendatangkan guru-guru berprestasi sebagai narasumber; (2) Melaksanakan bedah karya pengembangan profesi, misalnya bedah PTK atau artikel, secara berkelanjutan; (3) Menerbitkan jurnal ilmiah guru; dan (4) Saling bertukar informasi berkenaan dengan lomba-lomba karya ilmiah guru yang informasinya diakses dari berbagai sumber. ***

MENJELANG UJIAN, TAHUN AJARAN BARU,

Ujian sudah dekat. Tahun ajaran baru juga sudah dekat. Orang tua dan sekolah (guru) seakan sepakat bahwa anak-anak harus meningkatkan waktu belajarnya baik di sekolah maupun di rumah. Setiap saat anak harus mengisi aktivitasnya dengan belajar dan belajar (mengafal teori dan melatih soal-soal). Tidak ada waktu lagi bagi anak untuk sekadar bermain, berekreasi, atau mendengarkan musik. Adakah yang keliru dari perlakuan orang tua dan sekolah terhadap anak tersebut?

Orang dewasa, termasuk orang tua dan guru, sering memiliki persepsi yang kurang benar terhadap anak. Pertama, anak dipandang sebagai miniatur orang dewasa. Anak dianggap sebagai individu yang belum matang baik fisik, mental maupun sosial. Karena dianggap belum matang, anak pada akhirnya dianggap belum tahu apa-apa. Anak dipaksa harus mengikuti kata orang tua dan guru. Persepsi ini tampak pada pemberlakuan sistem pemantapan atau les untuk menyukseskan ujian. Yang harus dilakukan anak setiap hari di sekolah—dari pagi sampai sore—hanyalah menghafal sejumlah teori dan rumus serta membahas soal-soal. Setiba di rumah, guru les yang didatangkan orang tua siap menanti. Parahnya, pola pembelajaran yang diterima anak kebanyakan tidak inovatif Demikian seterusnya. Anak-anak hampir tidak punya lagi waktu untuk bermain atau bersosialisasi.

Kedua, anak dipandang sebagai aset. Dan, kemudian menjadi investasi yang bisa dilakukan apa saja terhadapnya. Anak dibentuk sesuai dengan keinginan orang tua, misalnya anak kelak setelah dewasa harus menjadi dokter, insinyur, ekonom, dan sebagainya. Akibatnya, orang tua sering memaksa anaknya untuk memilih sekolah lanjutan sesuai dengan keinginannya padahal sangat bertentangan dengan minat, bakat, dan potensi anaknya.

Ketiga, anak adalah sebuah bejana kosong yang dapat diisi apa saja oleh orang dewasa. Persepsi ini berimplikasi terhadap sistem pendidikan yang diperoleh anak di sekolah. Sebuah sistem pembelajaran yang miskin dengan pengembangan inovasi dan kreativitas. Anak dianggap sebagai sebagai objek pasif. Guru memberikan informasi yang harus ditelan siswa; wajib diingat dan wajib dihafalkan oleh siswa. Suyatno (2004) menyebutkannya sebagai pendidikan gaya bank dengan ciri-ciri: guru mengajar murid belajar, guru tahu segalanya murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikirkan, guru berbicara murid mendengarkan, guru mengatur murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya murid menuruti, guru bertindak murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru, dan sebagainya. Pembelajaran seperti ini masih mewarnai sistem pemantapan ujian nasional di sekolah-sekolah kita saat ini.

Persepsi yang keliru terhadap anak menyebabkan anak sering menerima perlakuan yang tidak adil. Misalnya kekerasan, baik fisik maupun mental, dari orang dewasa (orang tua dan sekolah). Orang tua dan guru mungkin saja dapat berdalih bahwa perlakuannya itu semata-mata untuk membimbing atau mendidik anak agar sukses dalam ujian atau memilih sekolah lanjutan. Namun, tanpa disadari justru banyak yang melanggar hak-hak dasar anak.

Dampak pengabaian dan pelanggaran terhadap hak dasar anak akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak. Tawuran adalah dampak jangka pendeknya. Trauma, antisosial, stres, dan hilangnya kepercayaan diri adalah dampak jangka panjangnya.

Ubah Paradigma

/Anakmu bukanlah milikmu/ /Ia titipan Tuhan semata/ Kalimat indah Kahlil Gibran ini hendaknya dijadikan sumber inspirasi oleh orang tua dan guru dalam memperlakukan anak. Orang tua dan guru hendaknya berangkat dari pemahaman yang terbaik bagi anak dalam memutuskan suatu perlakuan dalam membimbing dan mendidik anak—termasuk mengantarkan anak-anak agar sukses dalam ujian dan memilih sekolah lanjutan.

“Pikiran bukanlah wadah yang harus diisi melainkan api yang harus dinyalakan, “ demikian kata-kata bijak yang sering kita dengar. Berarti, setiap anak sudah memiliki potensi dasar. Potensi inilah yang harus dikembangkan agar anak sukses. Guru dan orang tua semestinya menyediakan iklim yang kondusif bagi anak untuk berkembangnya potensi yang dimilikinya. Di sekolah guru seyogyanya mengembangkan sistem pendidikan yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan. Guru harus mampu mengembangkan inovasi pembelajaran.

Selama ini pola pembelajaran di sekolah kita masih konvensional. Miskin dengan pengembangan emosi, gairah, spontanitas, imajinasi, kegembiraan, dan pengembangan unsur baru. Secara psikologis pembelajaran hanya mengembangan otak kiri semata. Padahal, pembelajaran yang baik apabila mampu mengembangkan potensi kedua belahan otak (DePorter, 2002). Hal ini tampak misalnya dari penataan tempat duduk yang statis karena harus memakai denah. Pola pikir anak juga diharuskan bersifat tunggal, runtut atau teratur menurut pola pikir orang dewasa. Contoh kecilnya dalam pembelajaran bahasa Bali, kesenian, atau bahasa Indonesia.

Dalam pelajaran bahasa Bali anak sering dihambat kreativitasnya. Misalnya, guru bertanya, “Wadah nasi keadanin....?” (Tempat nasi apa namanya?). Anak-anak cukup banyak yang menjawab, “magic gar”. Namun, guru langsung menyalahkan. Sebab jawaban yang dikehendaki guru adalah sok asi. Pada akhirnya, anak tidak berani berkreativitas lagi. Dalam pelajaran kesenian (menggambar), anak-anak selalu diajak menggambar pemandangan (ada gunung, laut, dan jalan raya). Dalam pelajaran bahasa Indonesia, setiap belajar menulis anak harus memulainya dari kerangka karangan. Dan, hampir tidak pernah menulis yang sesungguhnya.

Dunia adalah dunia mereka. Bukan dunia orang dewasa. Dengan demikian, orang tua dan guru harus berhati-hati. Belum tentu bimbingan yang diberikan cocok dengan anak. Orang tua dan guru TK misalnya, sering memaksa anak harus bisa membaca dan berhitung—belajar logika—agar begitu masuk SD sudah pintar. Padahal, anak seusia ini hanya memerlukan bermain, bersosialisasi, dan beradaptasi di tempat belajarnya. Jadi, bisa berdampak tidak baik terhadap berkembangnya potensi otak kanan (emosi) anak di kemudian hari. Orang tua dan guru—SD, SMP, SMA—seakan-akan sepakat bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan prestasi anak adalah belajar sebanyak-banyaknya dan selama-lamanya. Pagi hari anak belajar , sore les di sekolah, malam hari guru les sudah menanti di rumah. Celakanya, yang diasah hanya pengetahuan (intelektual) saja. Hal-hal yang berkaitan dengan emosional dan spiritual didepak sejauh mungkin. Alasannya hanya satu; agar lulus ujian dan memperoleh hasil bagus sehingga mampu mencari sekolah favorit.

Anak adalah individu yang unik. Untuk bisa bangkit potensi yang dimilikinya sehingga berkembang menjadi pribadi yang utuh, orang tua dan guru harus menyadari bahwa pendidikan yang diberikan tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) adalah hal yang terpenting. Dan, pendidikan (di sekolah dan di rumah) hendaknya dikembangkan dalam suasana dilogis dan sarat dengan pengembangan nilai-nilai kemanusian. Sistem pendidikan yang dikemas dalam untaian kasih sayang, menyenangkan, dan mengembangkan kreativitas. Les penting agar anak lulus ujian. Tapi, waktu yang dibutuhkan anak untuk bersosialisasi, bermain untuk mengatasi kejenuhan jangan dilupakan. ***

I Made Wardita, S.Pd

SMAN 1 Selemadeg

Jl. Gelogor Bajera, Selemadeg,

Tabanan

SERTIFIKASI DAN KARYA TULIS GURU

Oleh: I Made Wardita, S.Pd

Guru SMAN 1 Selemadeg, Tabanan

Seorang guru tertunduk lesu usai menyerahkan berkas sertifikasi. Mulanya dia sempat mimpi indah akan meningkatnya kesejahteraannya dengan disyahkannya UU No. 14 tahun 2005. Namun, begitu dia memperoleh kesempatan mengikuti sertifikasi, mimpi indahnya seakan berubah menjadi mimpi buruk karena dia sangat pesimis untuk berhasil lulus sertifikasi.

Sertifikasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Kebijakan ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat kompetitif di kalangan guru untuk meningkatkan kualitasnya. Dan, guru yang berkualitas pada akhirnya berhak memperoleh penghargaan (kesejahteraan) yang layak.

Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, pemerintah menginginkan agar terjadi korelasi yang positif terhadap peningkatan anggaran untuk kesejahteraan guru dengan peningkatan mutu pendidikan kita.

Menurut Peraturan Mendiknas No. 18/2007, uji kompetensi (sertifikasi) guru dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru selama perjalanan kariernya. Guru yang terbiasa melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional secara berkelanjutan diyakini tidak akan mengalami hambatan dalam mengikuti sistem penilaian portofolio.

Dalam instrumen portofolio ada sepuluh aspek yang dinilai, yaitu: (a) kualifikasi akademik; (b) pendidikan dan pelatihan; (c) pengalaman mengajar; (d) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (e) penilaian dari atasan dan pengawas; (f) prestasi akademik; (g) karya pengembangan profesi; (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (i) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan seosial; dan (j) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Dari semua aspek tersebut, butir prestasi akademik dan karya pengembangan profesi merupakan variabel yang paling sulit dipenuhi oleh guru. Pertama, prestasi akademik dan karya pengembangan profesi berkorelasi erat dengan minat dan kemampuan seorang guru dalam menekuni aktivitas baca-tulis bernalar. Guru yang terbiasa mengikuti kompetensi ilmiah misalnya mengikuti lomba karya ilmiah guru atau kereativitas guru akan memiliki cukup banyak nilai prestasi akademik. Guru yang memiliki minat yang tinggi menulis artikel di media massa, melakukan penelitian tindakan kelas, menulis modul/diktat, membuat media pembelajaran, atau menerjemahkan buku diyakini akan memiliki nilai yang cukup banyak dalam aspek pengembangan profesi. Masalahnya, belum banyak guru yang terbiasa bergelut dengan aktivitas ilmiah tersebut.

Kedua, awalnya cukup banyak guru yang memiliki minat untuk menekuni aktivitas ilmiah—mencari prestasi akademik dan melakukan kegiataan pengembangan profesi—tetapi akhirnya terputus di tengah jalan karena berhadapan dengan sejumlah kendala seperti keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan akses untuk menambah wawasan intelektualnya.

Ketiga, guru sering berhadapan dengan iklim yang kurang kondusif untuk membangkitkan aktivitas ilmiahnya. Di institusi pendidikan kita saat ini belum sepenuhnya berkembang iklim masyarakat belajar (learning culture). Padahal, learning culture dapat memacu berseminya ide-ide kreatif guru untuk meraih prestasi akademik dan pengembangan profesi.

Keempat, guru-guru yang berhasil meraih prestasi akademik dan pengembangan profesi terkadang belum mendapatkan penghargaan yang proporsional dalam kariernya. Saat ini belum semua orang terbiasa melihat pancaran prestise seorang guru dari aspek ini. Guru justru dianggap lebih berprestise apabila sukses mengembangkan usaha/bisnis di luar jam kerjanya.

Bukan Hal Baru

Guru dituntut menekuni kegiatan pengembangan profesi dan meraih prestasi akademik sebenarnya sudah digulirkan pemerintah sejak diberlakukannya Kep Menpan No. 84/1993 tentang Sistem Kenaikan Pangkat Guru berdasarkan angka kredit. Sehingga, guru yang terbiasa menekuni aktivitas ilmiah tersebut telah terbukti mampu naik pangkat/jabatan sampai Guru Pembina Tingkat I IV/b ke atas. Hanya saja hanya sekitar 5 % guru yang berhasil mencapai jenjang pangkat tersebut.

Beranalogi dengan hal tersebut, diprediksikan bahwa guru akan menghadapi realitas yang sama dalam mengikuti uji sertifikasi.

Memang, dalam pasal 2 Kep Mendiknas No. 18/ 2007 dinyatakan bahwa guru yang tidak lulus penilaian protofolio diberikan kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau atau diberikan diklat profesi guru yang diakhiri dengan ujian. Apabila dalam diklat pertama belum lulus, diberikan diklat kedua. Pertanyaannya: (1) Apakah pemerintah memiliki dana yang cukup untuk menyelenggarakan diklat profesi guru mengingat jumlah guru kita yang cukup besar?; (2) Apakah cukup adil pemerintah memberikan diklat sampai dua kali untuk guru yang belum lulus sertifikasi sedangkan antrean guru yang belum ikut sertifikasi masih sangat panjang?. ***

Who's The Visitor