About Me

My photo
Asal: Kelecung City,Tegalmengkeb Square, Selemadeg Timur, Kab. Tabanan-Bali " Do the best and God will do the rest"

Thursday, February 7, 2008

GURU DALAM KTSP

Telah terjadi revolusi besar dalam dunia pendidikan dasar dan menengah kita. Melalui Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pemerintah meluncurkan kurikulum baru yang diberi nama kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum ini diberlakukan mulai tahun pelajaran 2007/2008. Kurikulum yang memberikan otonomi di tingkat sekolah ini memposisikan guru sebagai pengembang sekaligus pelaksana kurikulum.

Memang, banyak yang kaget. Mengapa terlalu cepat terjadi pergantian kurikulum? Kurikulum 2004—yang lebih dikenal dengan KBK—baru berjalan sekitar tiga tahun. Namun, tiba-tiba sudah muncul kurikulum baru. Pertama, kalangan pemerhati pendidikan menyatakan bahwa KBK terlalu sentralistik sehingga belum sepenuhnya relevan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Menurut pasal 38 UU No.:20/2003 kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Departemen Agama.

Kedua, karena terlalu sentralistik KBK belum memberikan iklim kondusif bagi institusi pendidikan, khususnya guru, dalam melakukan inovasi pengembangan dan pengimplementasian kurikulum. Dalam KBK lebih dari delapan puluh persen kurikulum ditentukan oleh pusat. Dari standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran, sumber belajar, sampai alokasi waktu telah ditentukan dalam penataan yang baku. Sekolah (guru) hanya diberikan berinovasi dalam pengembangan pengalaman belajar siswa. Sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana guru bisa mengembangkan pengalaman pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dan dialogis—sebagaimana amanat pasal 40 (1) UU No.20/2003—sedangkan penataan kurikulum begitu kaku dan ketat.

Kurikulum yang kurang memberikan peluang bagi bangkitnya inovasi sekolah (guru) diyakini tidak akan mampu meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan. Sebab sistem yang ada menyebabkan guru terjebak pada pembelajaran tradisional yang memandang siswa adalah subjek pasif. Guru terbiasa menerapkan pendidikan gaya bank. Suyatno (2004) mengungkapkan daftar antagonis pendidikan gaya bank yang sangat magis dan naif sebagai berikut: guru mengajar murid belajar; guru tahu segalanya murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir murid dipikirkan; guru bicara murid mendengarkan; guru mengatur murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya murid menuruti; guru bertindak murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru; guru memilih apa yang diajarkan murid menyesuaikan diri; guru mengacaukan wewenang wawasan yang dimilikinya dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid; dan guru adalah subjek proses belajar murid objeknya.

Menurut Drs. I Wayan Gendra, tim instruktur KTSP Provinsi Bali, pembelakuan KTSP diharapkan dapat memacu tumbuhnya learning culture di setiap institusi. Secara institusi guru akan terlibat langsung dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum. Misalnya dalam penentuan mata pelajaran, muatan lokal, pengembangan diri, dan sebagainya. Secara individual guru dituntut mampu mengembangkan silabus pembelajaran secara berkelanjutan. Dan, aktivitasnya itu tidak pernah selesai karena kurikulum harus dikembangkan secara berkelanjutan.

Learning culture diyakini dapat meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan. Tidak ada pilihan lain. Sekolah harus sering mengadakan worshop atau pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya. Sekolah harus menjalin kemitraan dengan institusi di bawahnya atau di atasnya serta perguruan tinggi. Guru harus menekuni aktivitas baca-tulis bernalar. Guru harus mau melakukan refleksi diri dan melakukan penelitian ilmiah—penelitian tindakan kelas—dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Setiap informasi baru harus dikejar guru dari segenap penjuru, misalnya dari buku-buku, seminar, atau internet.

Kurikulum tingkat satuan pendidikan mengisyaratkan agar sekolah dan guru terus-menurus melakukan inovasi. Guru diisyaratkan segera meninggalkan pola pembelajaran gaya bank yang menganggap anak sebagai sebuah bejana kosong. Dalam mengembangkan strategi pembelajaran guru, seyogyanya beranjak dari paradigma,”Pikiran (siswa) bukanlah wadah yang harus diisi melainkan api yang harus dinyalakan.” Sehingga, skenario pembelajaran yang diterapkan guru dapat membawa anak untuk mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) secara optimal.

Kendala

KTSP yang memberikan peluang kepada sekolah dan guru untuk berinovasi, secara ideal memang diyakini akan mendongkrak mutu proses dan hasil pendidikan kita. Namun, dalam realitasnya mungkin saja tidak demikian. Hal ini karena sejumlah faktor.

Pertama, guru memiliki cukup banyak kendala seperti keterbatasan tenaga, waktu, dan dana. Sistem pembelajaran kita yang sangat klasikal membuat guru akan kehabisan tenaga karena padatnya jam mengajar. Akibatnya, guru tidak sempat lagi memikirkan pengembangan kurikulum. KTSP mengisyaratkan guru-guru mampu mengakses informasi terbaru seluas-luasnya dari berbagai sumber, termasuk dari internet. Jujur saja penghasilan yang diterima guru belum memadai untuk mendukung hal tersebut. Memang angin segar sudah dihembuskan. Sesuai amanat UU No. 14 tahun 2005 guru dijanjikan akan memperoleh penghasilan yang cukup besar apabila lulus uji sertifikasi. Tapi kapan janji ini menjadi kenyataan? Tim sertifikasi saja belum jelas; sudah ada atau belum?

Kedua, belum tersedianya tenaga yang mendukung. Hal ini tampak pada jenjang SD. Untuk mengembangkan kurikulum di SD semestinya ada konselor dan dibantu oleh staf administrasi.

Ketiga, dampak dari pemberlakuan sertifikasi guru. Dalam realitasnya yang diuji lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat administrasi. Karena untuk bisa mengikuti sertifikasi, guru harus punya dokumen (perangkat pembelajaran) lengkap selama lima tahun. Saat ini, guru cemas dan sibuk menyiapkan hal tersebut. Akibatnya, hampir tidak ada waktu lagi untuk mengembangkan kurikulum, termasuk merancang inovasi pembelajaran.

Keempat, di sekolah-sekolah kita arah pembicaran guru belum sepenuhnya berorientasi pada budaya mutu. Saat ini guru dianggap berprestise apabila sukses dalam bisnis di luar. Dan, bagaimana cara meraih sukses itulah yang menjadi perbincangan menarik. Guru dianggap tidak berprestise apabila hanya sukses dalam mengembangkan inovasi pembelajaran sedangkan secara ekonomi tidak ada kemajuan. Sehingga, yang terakhir tidak menarik untuk diperbincangkan.

Kelima, iklim politik yang belum kondusif. Guru yang berprestasi semestinya layak dipromosikan kariernya. Tapi, saat ini karier guru lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat nonakademis.

Dengan demikian, tampaknya perlu usaha yang bersifat holistik dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan dalam era KTSP. Guru harus disejahterakan lebih dahulu. Jangan hanya diberikan mimpi indah dalam sebuah undang-undang. Uji sertifikasi disederhanakan dan quotanya diperbanyak. Jika pemerintah tidak punya dana, dibatalkan saja. Berikutnya, prestasi guru harus dijadikan syarat untuk untuk mempromosikan kariernya. Di samping itu, sekolah harus mengembangkan budaya mutu. Sekolah hendaknya mengalokasikan dana yang cukup dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) untuk mendukung kegiatan inovasi guru. ***

I Made Wardita

Guru SMAN 1 Selemadeg

Jl. Gelogor, Bajera, Tabanan

No comments:

Who's The Visitor