About Me

My photo
Asal: Kelecung City,Tegalmengkeb Square, Selemadeg Timur, Kab. Tabanan-Bali " Do the best and God will do the rest"

Thursday, February 7, 2008

MENJELANG UJIAN, TAHUN AJARAN BARU,

Ujian sudah dekat. Tahun ajaran baru juga sudah dekat. Orang tua dan sekolah (guru) seakan sepakat bahwa anak-anak harus meningkatkan waktu belajarnya baik di sekolah maupun di rumah. Setiap saat anak harus mengisi aktivitasnya dengan belajar dan belajar (mengafal teori dan melatih soal-soal). Tidak ada waktu lagi bagi anak untuk sekadar bermain, berekreasi, atau mendengarkan musik. Adakah yang keliru dari perlakuan orang tua dan sekolah terhadap anak tersebut?

Orang dewasa, termasuk orang tua dan guru, sering memiliki persepsi yang kurang benar terhadap anak. Pertama, anak dipandang sebagai miniatur orang dewasa. Anak dianggap sebagai individu yang belum matang baik fisik, mental maupun sosial. Karena dianggap belum matang, anak pada akhirnya dianggap belum tahu apa-apa. Anak dipaksa harus mengikuti kata orang tua dan guru. Persepsi ini tampak pada pemberlakuan sistem pemantapan atau les untuk menyukseskan ujian. Yang harus dilakukan anak setiap hari di sekolah—dari pagi sampai sore—hanyalah menghafal sejumlah teori dan rumus serta membahas soal-soal. Setiba di rumah, guru les yang didatangkan orang tua siap menanti. Parahnya, pola pembelajaran yang diterima anak kebanyakan tidak inovatif Demikian seterusnya. Anak-anak hampir tidak punya lagi waktu untuk bermain atau bersosialisasi.

Kedua, anak dipandang sebagai aset. Dan, kemudian menjadi investasi yang bisa dilakukan apa saja terhadapnya. Anak dibentuk sesuai dengan keinginan orang tua, misalnya anak kelak setelah dewasa harus menjadi dokter, insinyur, ekonom, dan sebagainya. Akibatnya, orang tua sering memaksa anaknya untuk memilih sekolah lanjutan sesuai dengan keinginannya padahal sangat bertentangan dengan minat, bakat, dan potensi anaknya.

Ketiga, anak adalah sebuah bejana kosong yang dapat diisi apa saja oleh orang dewasa. Persepsi ini berimplikasi terhadap sistem pendidikan yang diperoleh anak di sekolah. Sebuah sistem pembelajaran yang miskin dengan pengembangan inovasi dan kreativitas. Anak dianggap sebagai sebagai objek pasif. Guru memberikan informasi yang harus ditelan siswa; wajib diingat dan wajib dihafalkan oleh siswa. Suyatno (2004) menyebutkannya sebagai pendidikan gaya bank dengan ciri-ciri: guru mengajar murid belajar, guru tahu segalanya murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikirkan, guru berbicara murid mendengarkan, guru mengatur murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya murid menuruti, guru bertindak murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru, dan sebagainya. Pembelajaran seperti ini masih mewarnai sistem pemantapan ujian nasional di sekolah-sekolah kita saat ini.

Persepsi yang keliru terhadap anak menyebabkan anak sering menerima perlakuan yang tidak adil. Misalnya kekerasan, baik fisik maupun mental, dari orang dewasa (orang tua dan sekolah). Orang tua dan guru mungkin saja dapat berdalih bahwa perlakuannya itu semata-mata untuk membimbing atau mendidik anak agar sukses dalam ujian atau memilih sekolah lanjutan. Namun, tanpa disadari justru banyak yang melanggar hak-hak dasar anak.

Dampak pengabaian dan pelanggaran terhadap hak dasar anak akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak. Tawuran adalah dampak jangka pendeknya. Trauma, antisosial, stres, dan hilangnya kepercayaan diri adalah dampak jangka panjangnya.

Ubah Paradigma

/Anakmu bukanlah milikmu/ /Ia titipan Tuhan semata/ Kalimat indah Kahlil Gibran ini hendaknya dijadikan sumber inspirasi oleh orang tua dan guru dalam memperlakukan anak. Orang tua dan guru hendaknya berangkat dari pemahaman yang terbaik bagi anak dalam memutuskan suatu perlakuan dalam membimbing dan mendidik anak—termasuk mengantarkan anak-anak agar sukses dalam ujian dan memilih sekolah lanjutan.

“Pikiran bukanlah wadah yang harus diisi melainkan api yang harus dinyalakan, “ demikian kata-kata bijak yang sering kita dengar. Berarti, setiap anak sudah memiliki potensi dasar. Potensi inilah yang harus dikembangkan agar anak sukses. Guru dan orang tua semestinya menyediakan iklim yang kondusif bagi anak untuk berkembangnya potensi yang dimilikinya. Di sekolah guru seyogyanya mengembangkan sistem pendidikan yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan. Guru harus mampu mengembangkan inovasi pembelajaran.

Selama ini pola pembelajaran di sekolah kita masih konvensional. Miskin dengan pengembangan emosi, gairah, spontanitas, imajinasi, kegembiraan, dan pengembangan unsur baru. Secara psikologis pembelajaran hanya mengembangan otak kiri semata. Padahal, pembelajaran yang baik apabila mampu mengembangkan potensi kedua belahan otak (DePorter, 2002). Hal ini tampak misalnya dari penataan tempat duduk yang statis karena harus memakai denah. Pola pikir anak juga diharuskan bersifat tunggal, runtut atau teratur menurut pola pikir orang dewasa. Contoh kecilnya dalam pembelajaran bahasa Bali, kesenian, atau bahasa Indonesia.

Dalam pelajaran bahasa Bali anak sering dihambat kreativitasnya. Misalnya, guru bertanya, “Wadah nasi keadanin....?” (Tempat nasi apa namanya?). Anak-anak cukup banyak yang menjawab, “magic gar”. Namun, guru langsung menyalahkan. Sebab jawaban yang dikehendaki guru adalah sok asi. Pada akhirnya, anak tidak berani berkreativitas lagi. Dalam pelajaran kesenian (menggambar), anak-anak selalu diajak menggambar pemandangan (ada gunung, laut, dan jalan raya). Dalam pelajaran bahasa Indonesia, setiap belajar menulis anak harus memulainya dari kerangka karangan. Dan, hampir tidak pernah menulis yang sesungguhnya.

Dunia adalah dunia mereka. Bukan dunia orang dewasa. Dengan demikian, orang tua dan guru harus berhati-hati. Belum tentu bimbingan yang diberikan cocok dengan anak. Orang tua dan guru TK misalnya, sering memaksa anak harus bisa membaca dan berhitung—belajar logika—agar begitu masuk SD sudah pintar. Padahal, anak seusia ini hanya memerlukan bermain, bersosialisasi, dan beradaptasi di tempat belajarnya. Jadi, bisa berdampak tidak baik terhadap berkembangnya potensi otak kanan (emosi) anak di kemudian hari. Orang tua dan guru—SD, SMP, SMA—seakan-akan sepakat bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan prestasi anak adalah belajar sebanyak-banyaknya dan selama-lamanya. Pagi hari anak belajar , sore les di sekolah, malam hari guru les sudah menanti di rumah. Celakanya, yang diasah hanya pengetahuan (intelektual) saja. Hal-hal yang berkaitan dengan emosional dan spiritual didepak sejauh mungkin. Alasannya hanya satu; agar lulus ujian dan memperoleh hasil bagus sehingga mampu mencari sekolah favorit.

Anak adalah individu yang unik. Untuk bisa bangkit potensi yang dimilikinya sehingga berkembang menjadi pribadi yang utuh, orang tua dan guru harus menyadari bahwa pendidikan yang diberikan tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) adalah hal yang terpenting. Dan, pendidikan (di sekolah dan di rumah) hendaknya dikembangkan dalam suasana dilogis dan sarat dengan pengembangan nilai-nilai kemanusian. Sistem pendidikan yang dikemas dalam untaian kasih sayang, menyenangkan, dan mengembangkan kreativitas. Les penting agar anak lulus ujian. Tapi, waktu yang dibutuhkan anak untuk bersosialisasi, bermain untuk mengatasi kejenuhan jangan dilupakan. ***

I Made Wardita, S.Pd

SMAN 1 Selemadeg

Jl. Gelogor Bajera, Selemadeg,

Tabanan

No comments:

Who's The Visitor